Jakarta – Baru-baru ini ramai diperbincangkan tentang seorang anggota Israel Defence Forces (IDF), atau tentaranya Israel, yang memiliki bisnis dan membangun vila di Bali.Sambil mengunggah foto seseorang berpakaian tentara IDF, akun X @erlanishere kemudian mengatakan, “Bisa-bisanya tentara IDF bikin bisnis dan bangun villa di Bali. Kami menentang keras kehadiran Zionis di Indonesia, apalagi ini memiliki bisnis! Tidak bisa dibiarkan begitu saja!”Sontak unggahan tersebut dibanjiri komentar banyak orang. Terlepas dari unggahan tersebut, yang pasti isu kepemilikan vila dan banyaknya WNA jadi pekerja di Bali bukan rahasia lagi. Faktanya, mesi perizinannya menggunakan nama warga lokal, namun banyak vila di Bali dimiliki oleh WNA. Belum lagi mereka WNA yang ikut-ikutan bekerja di Bali meski datang dengan visa turis.Penasihat PRM Bali Dedek Warjana saat dihubungi Tim Regional mengatakan, banyaknya WNA yang ikut berbisnis di Bali adalah imbas dari aturan pemerintah yang tidak tegas dalam menjalankan dan menegakan aturan.”Ini mengakibatkan kerugian di sisi pengusaha lokal, dan berkurangnya pendapatan pajak pemerintah itu sendiri. Satu-satunya jalan adalah law inforcement yang tegas, kita sangat berharap pemerintah untuk tegas menertibkan semua usaha yang dimiliki WNA,” katanya.Dedek juga menyayangkan banyaknya praktik nominee alias perjanjian pinjam nama warga lokal dalam praktik pembangunan vila yang dimiliki WNA. Dalam kasus ini, seharusnya pemerintah juga aktif memberikan pemahaman dan sosialisasi dampak buruk yang akan diterima warga lokal jika masih saja menjual namanya untuk kepentingan pembangunan vila milik WNA. “Nantinya yang akan dikejar-kejar untuk perpajakan adalah nama nominee, termasuk jika terjadi permasalahan hukum dikemudian hari,” katanya. Warga Negara Asing (WNA) memang bisa membangun vila di Bali. Namun demikian, proses pembangunannya berbeda dengan Warga Negara Indonesia (WNI). Perbedaannya terletak pada kepemilikan properti dan batasan hukumnya. WNI bisa memiliki sepenuhnya tanah dan bangunan dengan status hak milik, sementara WNA hanya bisa dapat hak guna usaha. Inilah yang kemudian banyak praktik nomenee dalam pembangunan vila miliki WNA di Bali.Seperti dikutip dari laman property bali-home-immo.com, ada dua jenis kepemilikan tanah di Bali, yakni menyewa tanah (sewa) dan membeli tanah (hak milik). Kedua pilihan ini memiliki pertimbangan hukum, terutama bagi investor internasional. Orang asing tidak dapat memperoleh kepemilikan hak milik secara perorangan, namun, orang asing yang memiliki PT PMA dapat memiliki hak milik atas nama perusahaan. 1. Kepemilikan Hak SewaOrang asing diizinkan untuk mendapatkan kepemilikan hak sewa. Pengaturan hak guna bangunan dijamin melalui kontrak yang mengikat secara hukum (perjanjian sewa) antara calon pemilik (penyewa) dan pemilik properti (lessor). Perjanjian ini mengizinkan penyewa untuk membangun dan memiliki vila di atas tanah untuk jangka waktu tertentu.Jika kontrak disetujui, penyewa memiliki hak untuk menempati, mengubah, atau menyewakan tanah selama masa sewa. Selain itu, penyewa memiliki hak untuk membangun vila di atas tanah yang disewa, asalkan pemilik mengizinkannya.Dengan hak ini, orang asing dapat menyewa tanah dalam jangka waktu yang lama, yaitu 20 tahun, dan dapat diperpanjang selama 20 tahun lagi. 2. Kepemilikan Hak Milik (Hak Guna Bangunan)Individu asing tidak dapat memiliki Hak Milik. Namun, hanya perusahaan asing yang terdaftar di Indonesia (PT PMA) yang dapat memiliki hak milik, bukan perorangan.Selain itu, pembangunan vila juga harus mematuhi izin lingkungan, yang ditentukan berdasarkan ukuran area. Ada tiga jenis izin lingkungan yang harus diproses melalui Dinas Lingkungan Hidup, yaitu AMDAL (wajib untuk dampak lingkungan yang signifikan), SPPL (dampak lingkungan yang sedang), dan UKL/UPL (dampak lingkungan yang kecil).
Ramai soal Tentara IDF Punya Bisnis dan Bangun Vila di Bali, Bagaimana Aturan Sebenarnya?

Tag:Breaking News