Home / Peristiwa / Kebakaran Bertubi-tubi di Jakarta, Rusun Jadi Jawaban?

Kebakaran Bertubi-tubi di Jakarta, Rusun Jadi Jawaban?

Jakarta Kebakaran di Jakarta seolah tak ada jeda. Baru padam satu, sudah menyala lagi di tempat lain. Jika api melahap permukiman padat, petugas Damkar harus jatuh bangun menerobos gang sempit dan memanjat atap rumah bak adegan film Batman, hanya saja tanpa sutradara dan tanpa henti.Teranyar, si jago merah melahap ratusan rumah semi permanen di kawasan padat Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat 6 Juni 2025. Ribuan warga terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah yang kini tinggal puingnya.Di balik sirine dan semburan air, ada kisah perjuangan tanpa henti dari para petugas Damkar. Bertaruh nyawa di tengah kobaran api, mereka hanya berbekal keberanian dan doa keluarga, sebagaimana diungkapkan Kasi Ops Sudin Gulkarmat Jakarta Utara, Gatot Sulaeman.Secara umum, Gatot menyatakan permukiman padat penduduk menjadi salah satu medan perang yang berat bagi satuan Damkar melawan ganasnya api.“Kalau menghadapi api yang di tengah permukiman, ya kita tetap mengawasi daripada arah api, terus akses masuk ke TKP-nya, walaupun itu sulit kita tembus karena full aksesnya cuma harus dari situ ya kita harus tembus dari situ,” tutur dia saat dihubungi Rabu (11/6/2025).Di permukiman padat, api menjelma predator gesit, melahap apa saja yang dilewatinya. Kobarannya menjalar cepat tanpa ampun, memaksa petugas Damkar berpacu melawan waktu, berusaha memutus laju si jago merah sebelum ada lagi yang jadi mangsa.“Kalau langsung kita melawan api, kejaran apinya sangat cepat, apalagi kalau kebakarannya cukup kuat, ya kita tetap (mencari cara masuk). Tapi kita tidak terpaku itu juga. Kalau memang kondisinya real lapangannya sangat-sangat api membahayakan perumahan warga yang lain, kita tetap berjibaku bagaimana caranya untuk api itu tidak menjalar lebih luas lagi,” jelas dia.  Tidak jarang petugas mesti menarik selang cukup jauh dari lokasi kebakaran. Ditambah jalan sempit penuh hambatan, Damkar seringkali mengambil jalur alternatif dengan membobol tembok, hingga berjalan dan berlompatan di atap rumah warga.“Cukup, cukup jauh (narik selang), makanya kita membutuhkan akses. Ya aksesnya dalam artian bisa kita melewati atas rumah warga, melewati tembok, kita harus membolongkan tembok walaupun temboknya tinggi demi akses masuk, itu upaya-upaya yang kita lakukan,” ungkapnya.Beruntung, warga setempat di sekitar lokasi kebakaran banyak mendukung aksi Damkar. Mereka mengizinkan rumahnya dimasuki, temboknya dibobol, atapnya diinjak, demi mempermudah akses masuk petugas.Gatot pun berseloroh mengiyakan aksi jajaran Damkar seringkali dianggap warga layaknya Batman, apalagi saat bertugas di malam hari.“Iya itu, lagi di atap tahu-tahu viral. Karena kita harus mencari akses secepat mungkin agar jangkauan airnya benar-benar kena ke pusat apinya,” kata dia. Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menerangkan, harus diakui bahwa sepertiga atau bahkan lebih dari itu permukiman di Jakarta adalah kawasan kumuh padat penduduk. Kondisi tersebut sangatlah berpotensi terjadi kebakaran, bahkan dengan skala besar.“Dan itu sudah terbukti bahwa Jakarta dalam 1 tahun bisa lebih dari 1000 kali terjadi kebakaran. Jadi kalau kebakaran setahun 365 hari, Jakarta berarti sehari bisa 2-3 kali kebakaran,” tutur Yayat saat dihubungi .“Bahkan istilahnya ada mohon maaf arisan kebakaran dalam satu kelurahan, dari kecamatan, hari ini di RT ini, pindah besok di sini, pindah-pindah. Pertanyaannya penyebab utama itu tadi, kepadatan penduduk dan kepadatan permukiman,” imbuhnya.Yayat memberikan gambaran, bahwa penduduk Jakarta dalam 1 kilometer persegi bisa mencapai 16 ribu hingga 20 ribu. Dia berseloroh, bahkan cahaya matahari pun tidak dapat masuk ke dalam kawasan sepadat itu.“Jadi bisa bayangkan kalau misalnya satu rumah terbakar, itu bisa ratusan rumah kebakaran,” jelas dia.Penyebab kebakaran di Jakarta sendiri mesti ditelaah lebih mendalam. Dalam catatan, disebut bahwa 90 persen peristiwa itu diakibatkan permasalahan kelistrikan, maka dapat disimpulkan ada problem instalasi atau bahkan pencurian listrik.Seperti misalnya ketika asal menyambung atau menambah listrik yang tidak menggunakan pengaman NCB, akhirnya menjadi rawan korslet. Yayat menyebut, 44 persen warga Jakarta ngontrak, sehingga kontrol pengawasan bisa saja lengah di kawasan tersebut.“Kita bukan menyalahkan itu, tapi itulah fakta bahwa banyak kejadian-kejadian karena penghuninya kosong, lupa nyabut listrik, lupa matikan segala sesuatu, dan selain itu juga ada penyebab lain. Misalnya, instalasi yang digunakan tidak standar, tidak esensi,” ujarnya. Belum lagi banyaknya hama tikus atau binatang pengerat lainnya yang merusak instalasi serta kabel, ditambah rumah dua lantai di permukiman padat yang jarang dibangun dengan material beton melainkan kayu.“Jadi otomatis kalau kejadian terbakar satu, terbakarnya banyak. Dan ingat lho, setiap kejadian kebakaran itu, itu menyebabkan bukan orang miskin lagi, tapi super miskin. Di Penjaringan saja sampai ada yang nggak punya apa-apa, tinggal baju di badannya. Itu menunjukkan orang minus. Setiap kebakaran itu menambah jumlah angkat kemiskinan baru,” tukas Yayat.Alhasil, ujung-ujungnya menggunakan pendekatan kuratif, yakni mengandalkan Damkar. Namun, hal itu tidaklah cukup, mengingat keterbatasan jumlah petugas dan biaya perawatan unit.“Maka preventif, itu harus melibatkan warga. Yang paling penting adalah bagaimana RT RW itu peduli dengan lingkungan. Misalnya contoh, harus ada pemberian peringatan. Misalnya contoh dengan apakah banner, standuk, papan, untuk mengingatkan hati-hati bahaya kebakaran,” terangnya.Tidak ketinggalan perlunya peringatan dan imbauan, jika hendak menambah daya listrik, merenovasi rumah, atau hal lainnya mesti menggunakan ahlinya sehingga aman. Jadi masyarakat memang mesti belajar apa sebenarnya penyebab awal kebakaran hingga memahami pencegahannya. Kebijakan Gubernur Jakarta Pramono Anung yang mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 5 tahun 2025 terkait pelaksanaan Gerakan Masyarakat Punya Alat Pemadam Api Ringan (Gempar) pun mesti ditindaklanjuti dengan pelatihan penggunaan APAR bagi masyarakat.“Kedua, di rumahnya itu ada orangnya atau tidak. Kalau kebakarnya siang orangnya kerja, udah nggak bisa apa-apa. Nggak ada yang memantau. Jadi kepedulian antara tetangga pun penting untuk selalu diingatkan,” ujar Yayat.Kembali dia menegaskan, mulai dari sosialisasi, edukasi, hingga penanganan kebakaran pun tidak cukup hanya mengandalkan Damkar. Peran imbauan RT RW hingga kelurahan dan kecamatan juga sangat penting.Kalau perlu, diadakan simulasi menghadapi kebakaran bagi warga Jakarta, serta pelatihan tentang keselamatan bangunan dan gedung mulai dari pemasangan instalasi listrik yang tepat, pemakaian yang sesuai NCB, hingga sertifikasi rumah aman dan layak huni.“Dari seluruh rumah yang ada, yang dimiliki orang Jakarta, itu ada data mengatakan 37 persen sampai 40 persen tidak layak huni. Tidak layak huni berarti ada standar yang tidak terpenuhi, kalau standar tidak terpenuhi salah satu, tidak terpenuhi sertifikasi terkait bahaya kebakaran, ya dia akan terulang kembali,” tegasnya.Yayat menyatakan, salah satu solusi tercepat memutus terulang kembalinya kebakaran permukiman padat penduduk adalah dengan memindahkan warga yang tinggal di sana ke rumah susun, sebab di sana lebih terjaga, terawat, terpantau, dan terkendali.Jangan biarkan hunian yang sudah habis terbakar malah dibangun kembali oleh warga. Pemerintah mesti memberikan bantuan pemindahan mereka ke rumah susun dan difasilitasi.“Jadi itu penting menurut saya, tinggal di rumah susun adalah salah satu cara untuk mengendalikan supaya peristiwa ini tidak terulang,” Yayat menandaskan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *