Jakarta – Negosiasi perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China masih jadi kekhawatiran. Satu hal yang menjadi pertanyaan mengenai kesepakatan yang dibuat antara AS dan China.Pekan lalu, kekhawatiran masih ada di AS dengan ketidakpastian yang terus berlanjut dan kurangnya pembaruan yang berarti tentang pembicaraan perdagangan antara AS dan China.Sementara itu, Presiden AS Donald Trump sering kali menekankan kemampuannya untuk membuat kesepakatan jelas kalau berbagai hal tidak berjalan seperti diharapkannya antara dua ekonomi terbesar tersebut.”Alasan utamanya adalah perbedaan gaya negosiasi antara para pemimpin kedua negara. Satu pertanyaan yang masih ada dalam situasi saat ini tentang kesepakatan perdagangan antara AS dan China adalah apakah kesepakatan akan dibuat dalam jeda tarif 90 hari,” demikian seperti dikutip dari riset Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Rabu (11/6/2025).Selain itu, satu pertanyaan yang masih ada dalam situasi saat ini mengenai kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China adalah apakah kesepakatan mungkin akan dibuat dalam jeda tarif 90 hari.”Melihat masa jabatan pertama Trump, jawabannya jelas tidak, butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat kesepakatan. Tindakan Trump baru-baru ini yang menargetkan China telah semakin meningkatkan ketegangan antara kedua raksasa itu,” demikian seperti dikutipAdapun tindakan itu termasuk pengumuman untuk mencabut izin mahasiswa China serta ancaman yang bertujuan membatasi chip Artificial Intelligence (AI) Huawei. Hal ini memicu kemarahan di China dan selanjutnya mengurangi optimisme keseluruhan atas penyelesaian yang cepat dan pada gilirannya telah kembali menghidupkan ketidakpastian tentang dampak kebijakan perdagangan terhadap ekonomi AS.“Dilema yang sama membebani the Fed, suku bunga riil perlu turun, tetapi dapatkan inflasi dan tingkat pengangguran membawa cukup keyakinan sehingga keduanya dapat turun secara berkelanjutan?,” demikian seperti dikutip.Namun, data terkini di sektor manufaktur dan jasa Amerika Serikat (AS) telah menunjukkan kontraksi pada Mei yang memperkuat ekspektasi terhadap jumlah penurunan suku bunga yang akan terlihat tahun ini.”Dalam kondisi ini, investor global secara bertahap kehilangan kepercayaan pada aset AS. Seperti yang disorot sebelumnya, AS tetap unggul dan mengalami arus masuk yang kuat selama dekade terakhir, tetapi pertumbuhan ini tidak lagi berkelanjutan karena kesehatan fiskal yang rapuh terus tumbuh,” demikian seperti dikutip. AS ingin mengurangi suku bunga riil tetap the Federal Reserve atau bank sentral AS tidak mampu bergerak maju dengan penurunan suku bunga dalam lingkungan yang sangat tidak stabil ini. Ashmore melihat pemerintah baru bertujuan untuk mengurangi defisit fiskal tetapi Trump baru-baru ini mengusulkan lebih banyak pemotongan pajak dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) “Beautiful Bill”, sedangkan efisiensi biaya oleh DOGE terus gagal memenuhi janji.Selain itu, penurunan peringkat utang negara AS oleh lembaga pemeringkat utama semakin memperkuat kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal AS, di mana estimasi terbaru untuk 2025 mencapaidefisit USD 1,9 triliun.”Volatilitas global akan tetap tinggi, tetapi kami tetap menyarankan untuk tetap berinvestasi dan melakukan diversifikasi di pasar negara berkembang karena pasar AS terus diperdagangkan dengan premi signifikan,” demikian seperti dikutip.Di sisi lain, saham Indonesia terus diperdagangkan dengan valuasi yang murah secara historis dan imbal hasil obligasi terus bergerak turun. Imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun saat ini berada di 6,77%. “Kami percaya kedua kelas aset itu memiliki potensi untuk reli yang berkelanjutan dalam jangka menengah-panjang,” demikian seperti dikutip.
Volatilitas Global Bakal Tetap Tinggi, Ini Pemicunya

Tag:Breaking News