Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengungkap sejumlah hambatan yang membuat pemerintah hingga kini belum merevisi batas garis kemiskinan nasional. Hingga September 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) masih menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.Menurut Arief, hambatan pertama adalah risiko politisasi jika angka kemiskinan mendadak melonjak akibat revisi batas tersebut.“Padahal ini bisa diantisipasi dengan edukasi publik dan penerbitan paralel dua versi data sementara,” ujar Arief kepada Katadata.co.id, Selasa (10/5).Hambatan kedua adalah kekhawatiran bahwa kenaikan garis kemiskinan akan membebani anggaran perlindungan sosial. Namun ia menilai alasan ini kurang berdasar.“Sebagian besar program bantuan sosial (bansos) di Indonesia tidak menggunakan angka kemiskinan resmi sebagai basis langsung penentuan sasaran,” kata Arief.Pemerintah juga sudah memiliki sistem penyasaran tersendiri seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mempertimbangkan berbagai faktor spesifik sesuai masing-masing program, termasuk ketersediaan anggaran.Arief menekankan bahwa menaikkan garis kemiskinan seharusnya tidak menjadi hal yang ditakuti. Menurutnya, langkah itu justru lazim di negara berkembang yang ingin memperbaiki kebijakan sosialnya.“Indikator yang terlalu rendah dapat menciptakan ilusi kemajuan dan mengaburkan arah kebijakan,” ujarnya.Ia menambahkan bahwa benchmarking antarnegara sangat penting agar Indonesia tidak hanya puas terhadap kemajuan masa lalu, tetapi juga sadar akan posisi di level global.“Hal yang paling penting dari revisi garis kemiskinan adalah langkah kejujuran nasional. Ini bukan untuk memperburuk citra, tapi untuk memperbaiki arah pembangunan dan menjamin kebijakan ekonomi yang lebih tepat sasaran dan inklusif,” ujarnya.BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2024 mencapai 24,06 juta orang. Jumlah ini menurun 1,16 juta dari Maret 2024 dan 1,84 juta dari Maret 2023.Secara persentase, tingkat kemiskinan mencapai 8,57% atau terendah sejak BPS pertama kali merilis data pada 1960.“Tingkat kemiskinan pada September 2024 sebesar 8,57% ini menjadi pencapaian terendah di Indonesia,” ujar Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/1).Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan banyak masyarakat yang hidup dalam kesusahan. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan hal ini disebabkan garis kemiskinan BPS terlalu rendah jika dibandingkan dengan standar internasional.“Itu kenapa kita melihat banyak sekali orang susah, tapi sesuai data BPS yang miskin hanya sekitar 8%-an saja,” kata Media.BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan pada September 2024. Nilai ini terdiri atas pengeluaran untuk makanan sebesar Rp443.433 dan bukan makanan Rp151.809.Sebaliknya, Bank Dunia telah merevisi standar penghitungan garis kemiskinan dan ketimpangan per Juni 2025. Imbasnya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2024 melonjak drastis jika menggunakan metode Bank Dunia berbasis purchasing power parities (PPP) 2021.Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2024 mencapai 194,67 juta jiwa.
RI Masih Pakai Garis Kemiskinan Lama, DEN Ungkap Masalah Utamanya

Tag:Breaking News