Home / Ekonomi / Alarm Dini: Waspadai Risiko Kredit Macet dan Suramnya Kredit Rakyat

Alarm Dini: Waspadai Risiko Kredit Macet dan Suramnya Kredit Rakyat

Jakarta Di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, kondisi rumah tangga Indonesia kian memprihatinkan.Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti potensi krisis sosial yang mengintai akibat menurunnya kemampuan masyarakat dalam membayar utang.”Apakah Masyarakat Masih Mampu Membayar Utangnya? Itu pertanyaan sederhana namun sangat mendesak hari ini,” kata Achmad dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/6/2025).Menurut Achmad, gejala penurunan kualitas ekonomi rumah tangga kini semakin jelas. Usaha kecil yang dulu produktif kini mulai terseok karena pasar yang lesu, dan keluarga-keluarga yang sebelumnya mampu mencicil utang mulai menunjukkan keterlambatan pembayaran.Data dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi tren ini. Kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) nasional meningkat dari 2,08 persen pada akhir 2024 menjadi 2,24 persen per April 2025. Peningkatan ini terjadi meskipun penyaluran kredit oleh perbankan melambat.”Ini berarti, walau tampak kecil secara persentase, tren ini terjadi bersamaan dengan perlambatan penyaluran kredit. Dengan kata lain, ketika bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit pun, kemampuan bayar debitur tetap memburuk,” ujarnya. Menurut Achmad, yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi kredit untuk sektor UMKM dan rumah tangga. NPL UMKM tercatat stagnan tinggi di kisaran 4 persen selama setahun terakhir, dengan level tertinggi pada segmen menengah yang mencapai 5,19 persen.Sementara itu, NPL kredit rumah tangga naik dari 1,99 persen menjadi 2,33 persen, dan NPL Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melonjak ke angka 3,07 persen.”Ini berarti, walau tampak kecil secara persentase, tren ini terjadi bersamaan dengan perlambatan penyaluran kredit. Dengan kata lain, ketika bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit pun, kemampuan bayar debitur tetap memburuk,” jelasnya. Achmad menjelaskan, tekanan yang dihadapi rakyat datang dari dua sisi sekaligus yakni produksi dan konsumsi. Dari sisi produksi, UMKM dan industri padat karya mengalami penurunan permintaan akibat lesunya pasar domestik dan ekspor.Sementara itu, dari sisi konsumsi, rumah tangga dihantam inflasi, kenaikan biaya hidup, dan stagnasi pendapatan. Kondisi ini menciptakan bom waktu. Pendapatan menyusut, utang bertambah, dan akhirnya kemampuan bayar jatuh. Jika banyak yang jatuh bersamaan, sistem perbankan bisa ikut terguncang.Sementara itu, ketidakpastian kerja akibat PHK atau kontrak yang tidak diperpanjang membuat masyarakat tidak berani berutang lebih jauh.Sebagian besar masyarakat bahkan harus menggunakan tabungan untuk bertahan, dan ketika tabungan habis, utang pun menumpuk.”Inilah bom waktu yang sedang berdetak,” pungkasnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *