PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto tentang niat menghapus sistem outsourcing di Indonesia memicu antusiasme organisasi serikat buruh sekaligus skeptisisme dari kalangan pengamat ekonomi dan ketenagakerjaan.
Bagi banyak pekerja, pernyataan ini seolah menjadi janji yang telah lama dinanti-nantikan —terutama bagi mereka yang selama bertahun-tahun berada dalam ketidakpastian kontrak kerja di bawah perusahaan penyedia tenaga kerja alih daya (The Jakarta Post, 17/5/25).
Namun, euforia tersebut belum dapat sepenuhnya dimaknai sebagai langkah progresif apabila ditinjau dari rekam jejak sistemik, kondisi makroekonomi, dan ketiadaan peta jalan kebijakan yang konkret.
Pernyataan presiden lebih mencerminkan bentuk populisme industri, yakni pendekatan emosional ketimbang upaya berbasis data untuk menata ulang kebijakan ketenagakerjaan yang memang masih perlu secara serius dibenahi.
Sejak pertama kali diterapkan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri di awal 2000-an, praktik outsourcing meluas ke berbagai sektor—mulai dari manufaktur hingga layanan publik, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari arsitektur fleksibilitas pasar kerja Indonesia.
Baca juga: Janji Tanpa Outsourcing
Tak bisa dimungkiri, praktik ini kerap menempatkan pekerja dalam posisi subordinat, tanpa jaminan jenjang karier maupun perlindungan sosial setara pekerja tetap.
Namun, pendekatan yang mengusulkan penghapusan total outsourcing justru memperlihatkan pemahaman yang kurang utuh terhadap peran perantara tenaga kerja dalam struktur ekonomi modern.
Dalam kerangka pasar tenaga kerja kontemporer, outsourcing bukanlah entitas tunggal yang dapat dihapus secara vertikal tanpa menimbulkan efek balik sistemik yang kontraproduktif (Davidson, 2011).
Secara global, negara-negara seperti Filipina, India, dan bahkan Vietnam justru tidak menghapus outsourcing, melainkan memperbaiki dan mengaturnya agar sejalan dengan perlindungan pekerja serta kebutuhan dunia usaha.
Filipina, misalnya, melalui Department Order No. 174 tahun 2017, menetapkan batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan sekaligus memperkuat akuntabilitas perusahaan utamanya terhadap hak-hak pekerja kontrak.
Pendekatan ini lahir dari pemahaman bahwa dalam ekosistem pasar kerja yang terfragmentasi oleh disrupsi teknologi dan ketidakpastian geopolitik, fleksibilitas tenaga kerja merupakan kebutuhan sekaligus tantangan struktural.
Mengabaikan realitas ini hanya akan menjerumuskan kebijakan publik ke dalam voluntarisme yang kontra-produktif.
Satu dimensi penting, tapi sering luput diperbincangkan adalah ageism atau diskriminasi usia dalam pasar tenaga kerja.
Diskursus kebijakan ketenagakerjaan seharusnya juga meninjau secara cermat apakah regulasi yang ada secara tidak sengaja melanggengkan diskriminasi berbasis usia.
Baca juga: Akhir dari Outsourcing? Menimbang Ulang Kepentingan Investor dan Buruh
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, diskriminasi usia di tempat kerja bahkan dianggap sebagai pelanggaran hukum, dengan perlindungan kuat bagi pekerja berusia lanjut dari pemecatan atau rekrutmen yang bias. Negara tetangga Singapura pun demikian.