Paris Saint-Germain akhirnya mengangkat trofi Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah klub.
Kemenangan telak 5-0 atas Inter Milan di final yang digelar di Allianz Arena, Sabtu (31/5/2025) malam waktu setempat atau Minggu dini hari WIB, tidak hanya menjadi catatan sejarah bagi klub, tetapi juga penebusan pribadi bagi kapten mereka, Marquinhos.
Di tengah euforia juara PSG, nama Marquinhos mencuat sebagai simbol keabadian, loyalitas, dan pembuktian.
Ia bukan hanya kapten PSG saat ini, tapi juga satu-satunya pemain yang masih bertahan sejak kekalahan tragis dari Barcelona pada 8 Maret 2017—sebuah luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh… hingga malam itu di Munich.
Delapan tahun lalu, Marquinhos adalah bagian dari tim PSG yang menjadi bahan olok-olok dunia setelah menyerahkan keunggulan agregat 4-0 kepada Barcelona dan tersingkir dengan kekalahan 1-6 di Camp Nou.
Coba kalian Google kata “remontada” (yang berarti comeback) dan salah satu pencarian pertama yang muncul adalah hasil laga paling memalukan dalam sejarah Liga Champions tersebut.
Malam itu, Marquinhos dinilai tak sanggup mengemban tugas di lini belakang dan menerima rating 0/10 dari media Prancis, Maxifoot.
“Bek yang bagus, ya. Bek besar? Belum,” tulis salah satu editorial saat itu. Sebuah kalimat yang menempel erat dalam perjalanan kariernya.
Tanggal 10 Maret 2022 menjadi titik nadir berikutnya. Di Santiago Bernabeu, Marquinhos—kali ini sebagai kapten—melakukan blunder fatal yang berujung ke gol hattrick Karim Benzema yang menyingkirkan PSG.
PSG yang tadinya sudah memimpin 2-0 pada 45 menit pertama laga leg kedua babak 16 besar Liga Champions itu harus tumbang dengan agregat 2-3.
Banyak yang menyalahkan Marquinhos, bahkan menyebut ia secara tidak langsung “membantu” Benzema meraih Ballon d’Or.
Namun meski berkali-kali terpukul, Marquinhos tak pernah menyerah.
Saat pemain-pemain besar datang dan pergi—Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, Thiago Silva, Neymar, hingga Lionel Messi—Marquinhos tetap berdiri di tengah badai, nyaris tak pernah meninggikan suara, tapi juga tak pernah lari dari tanggung jawab.
Kini, di usia 30 tahun, Marquinhos mencapai klimaks kariernya. Ia mengangkat trofi Liga Champions dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca. Sebuah momen yang bukan sekadar perayaan, tapi pemakaman untuk segala kegagalan masa lalu.
“Saya telah melalui begitu banyak hal di sini, banyak kekalahan, banyak kritik juga. Tapi saya tidak pernah menyerah, saya tetap setia pada klub ini,” ucap Marquinhos usai laga, penuh emosi.
Tak ada pemain dalam sejarah PSG yang mewakili penderitaan dan ketekunan seperti dirinya. Ia tidak selalu yang paling berbakat, tidak pernah paling vokal, tetapi ia selalu ada.
Ia adalah benang merah dari masa-masa kelam ke masa kejayaan, dari Camp Nou ke Allianz Arena.
Dengan trofi ini, Marquinhos melengkapi koleksi gelarnya bersama PSG: 10 gelar Ligue 1, 8 Piala Perancis, 6 Piala Liga Perancis, 9 Piala Super Perancis, dan kini, Liga Champions.
“Ini campuran antara kebahagiaan dan emosi. Saya menderita bersama tim ini, saya tumbuh di sini. Saya memikirkan para pemain yang datang dan pergi tanpa sempat meraih ini: Lucas, Thiago Silva, Zlatan, Cavani…” ujarnya dengan suara bergetar.