Home / REGIONAL / Saat AI Jadi Teman Curhat, Psikolog Ubaya Ingatkan Batasannya

Saat AI Jadi Teman Curhat, Psikolog Ubaya Ingatkan Batasannya

SURABAYA, Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat kini mulai menemukan cara baru untuk mencurahkan isi hati atau biasa disebut curhat.

Bukan lagi hanya kepada teman atau profesional, tetapi juga kepada chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT. Sebab dengan teknologi ini bisa menjadi teman meski belum tentu benar-benar pulih. 

Baca juga: Waspada, Ini 7 Penipuan WhatsApp yang Sering Muncul di Chat

Fenomena ini menarik perhatian Afinnisa Rasyida MPsi, dosen Program Pendidikan Profesi Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya).

Ia memandang ChatGPT memang bisa menjadi alat pendukung dalam menjaga kesehatan mental, namun tetap memiliki batas yang perlu dipahami.

“Masyarakat perlu memahami kapan bisa menggunakan ChatGPT sebagai support. Misalnya untuk membantu manajemen stres ringan, kondisi overthinking, butuh diskusi dan refleksi diri,” ujar perempuan yang biasa disapa Afinnisa itu.

“Bukan untuk mengganti layanan profesional, khususnya pada kasus yang sudah mengganggu keberfungsian individu seperti depresi berat atau risiko bunuh diri,” imbuhnya.

Memang bagi sebagian orang, curhat lewat AI terasa lebih nyaman. Tidak perlu takut dinilai, tidak merasa terbebani dengan biaya dan bisa dilakukan kapan saja.

Baca juga: China Atur Penggunaan AI di SD-SMA, Larang Jawab Pertanyaan Pakai AI

Hal ini, menurutnya sangat berkaitan dengan teori Help-Seeking Behavior dalam psikologi yang menjelaskan bahwa keputusan seseorang untuk mencari bantuan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Mulai dari dalam diri sendiri, lingkungan sosial, hingga hambatan struktural seperti ketersediaan layanan dan jarak.

“Maraknya fenomena ini disebabkan oleh pengguna yang ingin mendapat dukungan emosional dengan akses yang mudah, murah, dan bebas konsekuensi sosial,” katanya

Namun di balik kemudahan itu, ada risiko yang tidak bisa diabaikan. AI seperti ChatGPT memang cerdas, tapi bukan manusia yang bisa memahami emosi secara utuh.

“ChatGPT tidak mampu memahami kondisi krisis kita secara mendalam karena analisisnya bersifat umum. Juga tidak bisa memberikan penilaian (asesmen) dan intervensi yang tepat,” ujar Afinnisa.

Baca juga: Menko PMK: Kalau Anak Dapat Jawaban dari AI, Nalar Tak Berkembang Baik

“Kita harus ingat bahwa AI tidak dapat menggantikan intervensi klinis untuk kasus berat,” tegas Wakil Direktur Pusat Konsultasi dan Layanan Psikologi Ubaya tersebut.

Meski begitu, ia tidak menutup mata bahwa kebutuhan untuk mengekspresikan emosi tetap penting dan mendesak. Untuk itu, ia menyarankan beberapa alternatif sehat yang bisa dijalankan secara mandiri.

“Ekspresi emosi bisa dilakukan dengan journaling. Journaling secara terstruktur. ”

“Untuk yang memiliki hambatan tertentu, sekarang layanan psikolog juga merambah ke layanan online, baik berbasis teks maupun layanan video call atau video conference,” tutur perempuan berkacamata itu.

“Di Indonesia sudah ada berbagai platform yang lebih fleksibel, misal adanya aplikasi layanan psikologi dan aplikasi bantuan relaksasi. Bisa juga kita bergabung dalam komunitas support group sesuai dengan kondisi permasalahan kita,” pungkasnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *