Jakarta Menjelang Hari Raya Idul Adha, persiapan penyembelihan hewan kurban menjadi fokus utama masyarakat Muslim di seluruh Indonesia. Namun, tidak jarang panitia kurban dan masyarakat dihadapkan pada situasi yang membingungkan terkait apa yang harus dilakukan untuk memastikan kelayakan daging hewan kurban.Dr. Nanung Danar Dono, Wakil Ketua Halal Center Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus ahli dalam bidang kesehatan hewan, memberikan panduan komprehensif terkait hal ini. Menurutnya, pemeriksaan organ dalam hewan kurban setelah penyembelihan merupakan langkah penting yang tidak boleh diabaikan.”Yang sering dicek itu kan hati dan limpa. Di hati, hati tidak ada hubungan dengan antraks, hati itu ada cacing hatinya atau tidak? Cacing hati atau Fasciola hepatica itu ada di hatinya atau tidak?” kata Dr. Nanung ketika ditemui di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (26/5/2025).Pemahaman yang tepat tentang kondisi ini tidak hanya penting untuk menjaga keamanan pangan, tetapi juga untuk mencegah pemborosan daging kurban yang sebenarnya masih layak konsumsi.Hal pertama yang perlu dipahami masyarakat adalah perbedaan antara cacing hati sapi dengan cacing pita babi. “Yang penting adalah cacing hati sapi itu berbeda dengan cacing pita babi. Jadi jangan keliru memahami,” Dr. Nanung menekankan.Cacing hati atau Fasciola hepatica yang ditemukan pada sapi merupakan parasit yang berbeda dengan cacing pita yang biasa ditemukan pada babi. Perbedaan ini sangat penting karena tingkat risiko dan cara penanganannya berbeda.”Secara medis sebenarnya cacing hati sapi itu aman tapi secara estetis menjijikkan. Artinya ketika di hati itu ada cacingnya satu atau dua ekor ya kemudian hatinya dimasak matang, aman,” jelas Dr. Nanung memberikan jaminan keamanan berdasarkan data medis yang ada.Lebih lanjut, ahli dari UGM ini menegaskan bahwa tidak pernah ada kasus orang yang terinfeksi atau keracunan karena mengonsumsi hati sapi yang mengandung cacing hati.”Tidak ada satupun kasus orang terinfeksi sakit, keracunan, gara-gara makan hati sapi yang ada cacingnya,” tegasnya.Meskipun secara medis aman, Dr. Nanung memberikan panduan praktis tentang kapan hati yang mengandung cacing masih layak konsumsi dan kapan harus dibuang. Faktor penentu utamanya adalah jumlah cacing dan kondisi organ hati secara keseluruhan.”Tapi, maaf kalau hati itu ada banyak cacingnya ya, lendirnya keluar, bau—itu buang aja, itu enggak layak. Tidak hanya secara estetis enggak bagus, tapi menjijikkan lah itu, jangan dimakan buang saja. Tapi kalau cuma 1, 2 ekor, masih aman,” imbuhnya memberikan pedoman yang jelas.Sebaliknya, hati dengan 1-2 ekor cacing dan tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan lain masih dapat dikonsumsi dengan syarat dimasak hingga matang sempurna. Berbeda dengan cacing hati yang relatif aman, antraks merupakan penyakit serius yang memerlukan penanganan khusus. Dr. Nanung menekankan perbedaan penanganan yang tegas untuk kasus antraks.Tanda utama hewan terkena antraks dapat dilihat dari kondisi limpa. “Limpa itu indikasi hewanya kena antraks atau tidak. Kalau antraks itu limpanya seperti kebakar,” jelasnya memberikan ciri-ciri yang mudah dikenali.Bahaya antraks terletak pada kemampuan bakteri ini untuk berubah menjadi spora yang dapat menyebar ke mana-mana.”Harus hentikan, lokalisir, karena bakteri bacillus anthracis itu kan hidupnya di pembuluh darah. Ketika hewan disembelih darahnya keluar, ketika bakteri keluar maka dia akan berubah menjadi spora. Sporanya bisa kemana-mana,” papar Dr. Nanung menjelaskan mekanisme penyebaran penyakit ini.Dr. Nanung mengingatkan pentingnya mematuhi protokol keamanan dengan menceritakan kasus nyata yang terjadi di Gunungkidul beberapa tahun lalu. Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang risiko yang dapat timbul jika protokol keamanan diabaikan.”Dua atau tiga tahun yang lalu di Semanu di Dusun Jati (Kabupaten Gunungkidul) itu ada 86 orang kena penyakit antraks. Bukan delapan, 86 orang,” ungkap Dr. Nanung mengingatkan kasus yang menggemparkan tersebut.Kasus ini bermula dari ketidakpatuhan masyarakat terhadap instruksi pemusnahan hewan yang terinfeksi antraks. “Ketika petugasnya pergi, itu dibongkar lagi, mungkin eman-eman, dipotong-potong, dibagikan ke masyarakat. Akhirnya 86 orang kena antraks. 14 orang bergejala, satu orang meninggal,” lanjutnya menggambarkan akibat fatal dari ketidakpatuhan tersebut.Kasus ini menegaskan bahwa ketika ditemukan hewan yang terinfeksi antraks, seluruh bagian hewan tersebut harus dimusnahkan tanpa terkecuali.”Nah kalau ketahuan ada antraks maka semua di situ itu harus dispose dimusnahkan atau dipendam. Kenapa? Karena bisa nyebar kemana-mana,” tegas Dr. Nanung.Dr. Nanung menutup penjelasannya dengan menekankan pentingnya memprioritaskan keselamatan manusia di atas pertimbangan material. Pesan ini menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat tentang nilai kehidupan yang tidak dapat digantikan.”Lebih berharga nyawa manusia daripada daging. Insyaallah niat kurbannya sudah sampai ke Allah,” pungkasnya, memberikan perspektif spiritual yang menenangkan sekaligus menegaskan prioritas keselamatan.
Ada Cacing Hati di Sapi Kurban? Jangan Langsung Dibuang, Lakukan Hal Ini

Tag:Breaking News