Home / Bali Nusra / Dari Ritual Adat ke Restoran Kekinian, Transformasi Se’i dalam Budaya Timor

Dari Ritual Adat ke Restoran Kekinian, Transformasi Se’i dalam Budaya Timor

NTT – Se’i, hidangan daging asap khas Nusa Tenggara Timur (NTT), awalnya hanya disajikan dalam ritual adat suku Molo. Kini, kuliner ini menjelma menjadi menu premium di restoran kota besar.Mengutip dari berbagai sumber, se’i merupakan teknik pengolahan daging dengan pengasapan menggunakan arang kayu kosambi. Awalnya, kuliner ini dibuat oleh suku Molo di Pegunungan Mutih, Timor Tengah Selatan.Mereka melakukan ini sebagai persembahan untuk dewa-dewa dalam upacara adat seperti pernikahan atau syukuran. Daging yang digunakan biasanya babi, diiris tipis dan diasapi tanpa garam.Proses memasaknya bisa memakan waktu berjam-jam hingga berhari-hari. Daun kosambi menjadi salah satu komponen dalam pembuatan se’i. Daun ini berfungsi sebagai penyaring panas sekaligus pelindung agar warna dan aroma daging tetap alami.Teknik ini bertujuan untuk mengawetkan daging. Dalam budaya Molo, se’i adalah makanan yang merupakan simbol persatuan dan rasa syukur.Seiring waktu, se’i mulai menyebar ke wilayah lain di NTT seperti Kupang dan Flores. Perubahan bahan terjadi ketika kuliner ini dikenalkan ke daerah non-Muslim, dengan daging sapi sebagai alternatif babi.Penyajiannya pun berkembang, dipadukan dengan hidangan lokal seperti jagung bose (bubur jagung campur kacang merah) atau sambal lu’at yang difermentasi dalam bambu selama dua bulan. Tahun 2010-an menjadi titik balik popularitas se’i. Restoran-restoran di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mulai menawarkan menu ini dengan sentuhan modern, seperti tambahan keju mozarella atau sambal matah. Permintaan yang meningkat mendorong peternak sapi di NTT untuk memasok daging khusus se’i.Daerah Kupang, usaha rumahan pengolahan se’i bermunculan, dengan harga jual mencapai Rp150.000 per kilogram untuk varian premium. Sebagian masyarakat adat Molo masih mempertahankan proses tradisional tanpa garam dan hanya untuk acara sakral.Kini, se’i hadir dalam dua wajah. Pertama sebagai hidangan sakral di pedalaman Timor dan menu gourmet di perkotaan.Penulis: Ade Yofi Faidzun

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *