KOMPAS.com — Di tengah amukan Selat Bali yang ganas, sebuah kisah nyata tentang keajaiban, keteguhan hati, dan kekuatan doa terukir dalam perjalanan nahkoda Abdurrahman (60) dan tiga anak buah kapalnya.
Pada Sabtu, 17 Mei 2025, kapal fiber bermesin tunggal yang mereka gunakan untuk mencari ikan dihantam gelombang besar dan terbalik di tengah laut.
“Ombak besar datang dari belakang, langsung menghantam kapal kami. Lalu kapal kami terbalik,” tutur Abdurrahman saat ditemui di kediamannya di Banyuwangi, Jumat (23/5/2025). Suaranya lirih, namun penuh rasa syukur.
Baca juga: Cerita ABK Bertahan Hidup Selama Hilang 4 Hari di Selat Bali, Minum dari Botol yang Ditemukan Mengapung
Peristiwa mencekam itu seketika mengubah laut menjadi arena perjuangan hidup. Tubuh mereka terhempas dari kapal, terlempar ke air bergolak tanpa ampun. Dalam kepanikan dan dinginnya air laut, mereka berusaha mencari pegangan, memeluk serpihan kayu yang masih mengapung. Namun, ombak kedua datang lebih dahsyat. Mereka terpencar.
“Alhamdulillah, kami andal berenang, jadi tidak sampai terpisah lama dan bisa kembali berpegang pada lambung kapal,” ujar Abdurrahman.
Namun harapan untuk membalikkan kapal pupus, karena cadik — alat penyeimbang kapal — telah patah dan hanyut terseret arus.
Empat hari lamanya mereka terombang-ambing di laut. Matahari membakar siang hari, sementara malam membawa gigil menusuk tulang. Tanpa makanan dan hampir tanpa air, mereka dipaksa untuk bertahan. Ikan mentah dan tumbuhan laut jadi santapan. Secercah harapan datang dari sebotol air mineral yang terapung entah dari mana, yang mereka bagi bergiliran.
“Kami sudah pasrah, hanya bisa berdoa kepada Allah SWT,” lirih Abdurrahman, matanya berkaca-kaca.
Namun saat malam menyelimuti lautan, sebuah peristiwa aneh dan menggugah jiwa terjadi.
“Bunyinya seperti orang mengaji. Keras sekali. Semua dengar. Padahal kami di tengah lautan, dan itu terdengar saat malam hari,” kenang Abdurrahman.
Lantunan ayat suci itu memecah keheningan laut, menyelusup ke dalam jiwa mereka yang nyaris putus harapan.
Tanpa mereka tahu, di saat bersamaan, di tanah Banyuwangi yang mereka tinggalkan, sang istri, Sumini, tengah menggelar pengajian selama tiga hari berturut-turut. Doa-doa dipanjatkan oleh para kiai, ulama, dan tokoh adat dari Madura, tempat asal keluarga besar mereka.
“Istri saya ternyata menggelar pengajian meminta doa selamat. Mungkin suara lafaz Allah yang bergema di tengah laut itu adalah doa yang dikirimkan kepada kami. Semua ini karena izin Allah. Alhamdulillah kami diselamatkan,” kata Abdurrahman, suaranya bergetar oleh rasa haru dan syukur.
Doa-doa itu seolah menembus gulungan ombak, menghantarkan mereka ke tepi keselamatan. Pada Kamis, 22 Mei 2025, tim dari Pos TNI AL Muncar yang mendapat laporan kehilangan kontak dari keluarga, menemukan mereka dalam keadaan selamat di pesisir Pantai Plengkung, kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegaldlimo.
Baca juga: Cerita ABK 4 Hari Hilang di Selat Bali, Mengaku Dengar Lantunan Doa hingga Akhirnya Selamat
Meski dalam kondisi lemah dan dehidrasi, mereka kembali dalam pelukan keluarga. Dalam tatapan mereka, terpantul kisah tentang iman yang tak goyah dan doa yang tak putus.
“Kami diselamatkan karena rahmat Allah dan doa-doa yang tak pernah putus,” tutup Abdurrahman, penuh syukur.
Di tengah keganasan laut, harapan ternyata bisa datang dari daratan—melalui lantunan doa yang diam-diam menjemput mereka pulang. (Fitri Anggiawati, Glori K Wadrianto)