KOMPAS.com – Tragedi jatuhnya pesawat EgyptAir dengan nomor penerbangan MS804 masih menyisakan banyak tanda tanya. Pesawat jenis Airbus A320 ini hilang dari radar pada Kamis dini hari, 19 Mei 2016, saat terbang dari Paris menuju Kairo.
Insiden tersebut menewaskan seluruh 66 orang di dalam pesawat, termasuk 56 penumpang, 7 awak kabin, dan 3 petugas keamanan. Hingga kini, penyebab pasti jatuhnya pesawat masih menjadi misteri, meski sejumlah bukti teknis telah dikumpulkan.
Meski waktu telah berlalu hampir satu dekade, tragedi EgyptAir MS804 tetap menjadi salah satu kecelakaan udara paling membingungkan dalam sejarah penerbangan modern.
Ketidakjelasan penyebab jatuhnya pesawat memunculkan beragam teori, mulai dari kegagalan teknis, kesalahan manusia, hingga sabotase.
Pesawat EgyptAir MS804 lepas landas dari Bandara Charles de Gaulle, Paris, pada 18 Mei 2016 pukul 23.09 waktu setempat. Pesawat dijadwalkan tiba di Bandara Internasional Kairo, Mesir, keesokan harinya.
Namun sekitar pukul 02.30 waktu Mesir, pesawat tiba-tiba menghilang dari radar ketika berada di ketinggian 37.000 kaki, sekitar 290 kilometer di utara Alexandria, di atas Laut Mediterania.
Tidak ada panggilan darurat atau sinyal distress yang dikirim oleh pilot. Komunikasi terakhir dengan pengatur lalu lintas udara Yunani tidak menunjukkan adanya masalah teknis.
Tim SAR internasional segera dikerahkan untuk mencari puing-puing pesawat. Dalam beberapa hari, sejumlah serpihan pesawat dan jenazah penumpang ditemukan mengambang di laut.
Puing-puing pesawat ditemukan di Laut Mediterania sekitar 290 km (180 mil) di sebelah utara Alexandria, Mesir.
Namun, dibutuhkan waktu hampir satu bulan untuk menemukan lokasi reruntuhan besar dan dua kotak hitam (flight data recorder dan cockpit voice recorder) di kedalaman lebih dari 3.000 meter di bawah laut
Kotak hitam yang rusak parah akhirnya berhasil diperbaiki dan dianalisis oleh tim investigasi gabungan Mesir dan Prancis.
Baca juga: Pesawat EgyptAir Jatuh karena iPhone Meledak di Kokpit?
Data dari flight data recorder menunjukkan adanya asap di toilet dan kompartemen avionik di bawah kokpit beberapa menit sebelum pesawat hilang. Alarm kebakaran juga sempat aktif.
Cockpit voice recorder mencatat suara diskusi antara kru tentang asap dan kebingungan dalam merespons situasi darurat, namun tidak ada indikasi jelas penyebab asap tersebut. Sejumlah analis menduga adanya korsleting atau kebakaran listrik di bagian depan pesawat.
Pada akhir 2016, pemerintah Mesir menyatakan bahwa jejak bahan peledak ditemukan di beberapa jenazah, dan menyebut insiden ini sebagai aksi terorisme. Namun, Biro Investigasi dan Analisis untuk Keselamatan Penerbangan Sipil Prancis (BEA) tidak setuju dengan kesimpulan tersebut.
BEA menilai bahwa tidak ada bukti kuat mengenai adanya ledakan atau sabotase. Sebaliknya, mereka menyoroti kemungkinan kerusakan teknis yang menyebabkan kebakaran di dalam pesawat. Perbedaan interpretasi antara kedua negara ini memperumit hasil akhir investigasi.
Dari 66 korban tewas, tercatat warga negara dari 12 negara. Mayoritas merupakan warga negara Mesir (30 orang) dan Prancis (15 orang). Di antara penumpang terdapat juga anak-anak dan beberapa staf diplomatik.
Pihak maskapai menyatakan bahwa seluruh kru memiliki rekam jejak profesional yang baik, dan pesawat dalam kondisi layak terbang.
Hingga kini, belum ada laporan investigasi akhir yang dirilis secara komprehensif oleh pihak Mesir, dan publik masih menunggu penjelasan resmi yang bisa menjawab pertanyaan besar, apa yang sebenarnya terjadi di ketinggian 37.000 kaki?