Home / Peristiwa / 7 Respons DPR RI hingga Kemendagri soal Polemik Empat Pulau Aceh-Sumut

7 Respons DPR RI hingga Kemendagri soal Polemik Empat Pulau Aceh-Sumut

Jakarta – Empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, kini menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Perpindahan ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat Aceh. Bagaimana bisa empat pulau tersebut ‘lepas’ dari Aceh?Sengketa batas wilayah ini ternyata sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Persoalan bermula dari perbedaan hasil verifikasi antara tim dari Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mengenai kepemilikan sejumlah pulau di kawasan perbatasan.Pihak Sumatera Utara mengklaim sebanyak 213 pulau, termasuk empat pulau yang disengketakan, masuk ke dalam wilayah administratif mereka. Klaim ini bahkan ditegaskan lewat surat resmi dari Gubernur Sumut pada 2009 silam.Sementara itu, Pemerintah Aceh bersikukuh bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. Alasannya, selain bukti historis, keempat pulau tersebut telah lama menerima pelayanan publik dari Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.Polemik perpindahan empat pulau ini pun mengundang berbagai tanggapan dari sejumlah pihak, salah satunya dari Anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Aceh I, Muslim Ayub. Ia menilai pengubahan status empat pulau di Aceh menjadi wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut) hanya akan membuat luka baru bagi masyarakat Aceh.“Jangan membuat luka lagi terhadap masyarakat Aceh. Dengan mencaplok 4 pulau, yang secara hukum menjadikan pulau itu kepemilikan untuk Aceh,” kata Muslim saat dihubungi, Kamis 12 Juni 2025.Muslim mengingatkan sudah ada sejak lama kesepakatan dan kesepahaman pemda sejak dulu bahwa pulau tersebut milik Aceh.“Ada dokumentasinya kok bisa dipungkiri untuk mencaplok pulau itu lagi, ini bisa jadi persoalan. Aceh yang saat ini sudah damai, tentram, aman jangan diganggu-ganggu lagi dong, jangan diusik lagi, jangan buat persoalan lagi,” ungkapnya.Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin meminta pemerintah pusat untuk menuntaskan persoalan sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) dengan elegan dan didasarkan pada aspek yuridis dan sosiologis.”Kami meminta Kementerian Dalam Negeri menuntaskan persoalan sengketa empat pulau dengan cara elegan dengan semangat harmoni,” kata Khozin dalam keterangannya, Kamis 12 Juni 2025.Berikut sederet respons sejumlah pihak terkait polemik status empat pulau antara Aceh dan Sumut, dihimpun Tim News : Anggota DPR RI dapil Aceh, Nasir Djamil turut menyoroti persoalan sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara yang hingga kini belum menemukan titik terang.Nasir menyebut persoalan dokumentasi terhadap kepemilikan empat pulau yang disengketakan tersebut belum selesai sepenuhnya meski Kemendagri telah menyatakan 4 pulau itu kini milik Sumut.Nasir menyakini 4 wilayah yang dinyatakan sebagai wilayah Sumut itu itu adalah tetap milik Provinsi Aceh. Namun harus ada langkah yang efektif dan implementif untuk mengembalikan 4 pulau milik Aceh itu.”Soal dokumentasi itupun masih diperdebatkan. Tapi saya yakin bahwa empat pulau itu adalah bagian dari Provinsi Aceh,” kata Nasir dalam keterangannya, Kamis 12 Juni 2025.Oleh karenanya, Nasir yang merupakan anggota Komisi III DPR itu meminta pemerintah daerah Aceh segera melakukan tindakan strategis untuk kembali mengambil alih 4 wilayah yang kini diakui sebagai wilayah Sumut.”Karena telah diputuskan oleh Keputusan Mendagri, maka Aceh perlu mengambil sikap dan strategi yang efektif dan implementatif,” tegas Nasir.Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menegaskan, permasalahan 4 pulau di Sumatera bagian utara bukanlah soal masuk wilayah Provinsi Aceh atau Sumatera Utara (Sumut). Baginya, persoalan yang lebih penting adalah keempat pulau itu berpotensi dirusak dengan eksploitasi tambang.Menurut Rieke, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang adalah pulau kecil. Itu, kata dia, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-XXI/2023, yang tegas melarang aktivitas penambangan di pulau kecil. Mendagri pasti sangat paham putusan MK final dan binding, tak terkecuali bagi Gubernur Sumut.”Pulau Panjang luasnya 47,8 hektare atau 0,478 km², Pulau Lipan 0,38 hektare atau 0,0038 km², Pulau Mangkir Ketek 6,15 hektare atau 0,0615 km², dan Pulau Mangkir Gadang 8,16 hektare atau 0,0816 km²,” ujar Rieke Diah Pitaloka dalam video di akun Instagram @riekediahp, yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Kamis 12 Juni 2025.”Jadi jelaskan, luasnya dibawah 2 ribu km² atau di bawah 200 ribu hektare. Artinya, keempat pulau tersebut termasuk pulau kecil yang dilarang ada penambangan mineral berdasarkan undang-undang yang berlaku,” sambung dia.Rieke berharap, semua anggota kabinet terus bekerja keras sesuai dengan aturan dan perundang-undangan berlaku. Rieke juga yakin Presiden Prabowo tidak setuju dengan aktivitas tambang di seluruh pulau kecil, sesuai putusan MK.”Salam hormat untuk seluruh anggota kabinet. Tetap dukung Presiden Prabowo Subianto berdiri tegak menjaga pertahanan ketahanan, dan kedaulatan Republik Indonesia tercinta ini dan tetap mengacu pada peraturan hukum yang berlaku, karena Indonesia adalah negara hukum,” jelas politisi PDI Perjuangan ini.Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Khozin, mendorong pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar menyelesaikan sengketa batas wilayah empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara secara elegan serta mengedepankan prinsip hukum dan sosial.”Kami meminta Kementerian Dalam Negeri menuntaskan persoalan sengketa empat pulau dengan cara elegan dengan semangat harmoni,” ujar Khozin dalam keterangannya, Kamis, 12 Juni 2025.Ia menekankan pentingnya pendekatan yuridis dan sosiologis dalam menangani persoalan batas wilayah agar keputusan yang diambil benar-benar adil dan dapat diterima semua pihak.”Persoalan ini dimulai pada tahun 2008 atas temuan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang menemukan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara,” jelas Khozin.Anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Aceh I, Muslim Ayub, juga menyoroti keputusan pengubahan empat pulau di Aceh sebagai bagian dari wilayah administrasi Sumatera Utara. Menurutnya, langkah tersebut justru berpotensi membuka luka lama bagi masyarakat Aceh.“Jangan membuat luka lagi terhadap masyarakat Aceh. Dengan mencaplok 4 pulau, yang secara hukum menjadikan pulau itu kepemilikan untuk Aceh,” kata Muslim saat dihubungi, Kamis 12 Juni 2025.Ia menegaskan bahwa sejak lama sudah ada kesepakatan dan pemahaman antar pemerintah daerah bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.“Ada dokumentasinya kok bisa dipungkiri untuk mencaplok pulau itu lagi, ini bisa jadi persoalan. Aceh yang saat ini sudah damai, tentram, aman jangan diganggu-ganggu lagi dong, jangan diusik lagi, jangan buat persoalan lagi,” ungkapnya.Muslim juga mengingatkan pemerintah untuk siap menanggung risiko apabila keputusan tersebut memicu ketegangan baru di Aceh.“Kita tanya mau enggak Mendagri bertanggungjawab dengan kejadian yang bisa terjadi nanti? Kita bukan mengancam, tapi itu ada persoalan. Aceh itu sudah banyak lah kontribusi untuk Indonesia, jadi jangan diganggu lagi,” pungkasnya.Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution mengusulkan agar pembahasan mengenai status kepemilikan empat pulau yang disengketakan antara Sumut dan Aceh dibawa langsung ke meja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).”Saya dari awal kemarin ke Aceh bertemu gubernur Aceh. Kami ingin sampaikan, bahwa masalah kepemilikan pulau. Mohon maaf, mau kita bahas dari pagi sampai pagi pun sebenarnya tidak akan ada solusinya,” ujar Bobby, dikutip dari Antara, Kamis (13/6/2025).Menurut Bobby, Pemerintah Provinsi Sumut selalu terbuka untuk melakukan dialog terkait status empat pulau tersebut.Namun, ia menilai pembahasan di tingkat daerah tidak akan menghasilkan solusi konkret karena keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah pusat. Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan bahwa empat pulau yang kini menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara merupakan bagian dari wilayah Aceh sejak lama. Ia menyebut pihaknya memiliki data dan bukti kuat.”Ya empat pulau itu sebenernya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, bukti kuat, data kuat, sejak dahulu kala (empat pulau) itu punya Aceh,” ujar Muzakir saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Kamis 13 Juni 2025.Menurutnya, klaim Aceh terhadap empat pulau yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil tidak hanya didasarkan pada sejarah, tetapi juga aspek geografis hingga batas wilayah.”Itu memang hak Aceh. Jadi saya rasa itu betul-betul Aceh dari segi apa saja, dari segi geografis, perbatasan, sejarah, iklim. Jadi itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tegas Muzakir.Kementerian Dalam Negeri bakal mengkaji ulang sengketa empat pulau yang menjadi polemik antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Kajian ulang itu akanb dilakukan pada pada Selasa 17 Juni 2025.Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya mengatakan, kajian ulang itu akan dipimpin langsung oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi.”Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi akan melakukan kaji ulang secara menyeluruh pada hari Selasa, tanggal 17 Juni 2025,” kata Bima kepada wartawan, Jumat (13/6/2025).Bima menuturkan, Kementerian Dalam Negeri memberikan atensi penuh terhadap persoalan sengketa pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara.Menurutnya, sengketa wilayah ini sudah berlangsung lama dan menimbulkan kontroversi. Dia memastikan pemerintah akan menyikapi persoalan ini secara cermat dan hati-hati.”Sengketa ini sudah berlangsung lama dan saat ini menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat yang harus disikapi dengan cermat dan penuh kehati-hatian,” ujarnya.Menurut Bima, penyelesaian konflik ini membutuhkan data dan informasi yang akurat dari berbagai pihak. Dia menyebut, tidak cukup hanya melihat aspek geografis, namun perlu mempertimbangkan sisi historis dan kultural masyarakat setempat.”Penyelesaian persoalan ini memerlukan data dan informasi yang akurat dan lengkap dari semua pihak terkait. Penting untuk tidak saja melihat peta geografis tetapi juga sisi historis dan realita kultural,” pungkasnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *