NUNUKAN, Sebanyak 60.000 kg rumput laut jenis Eucheuma cottonii diekspor dari Nunukan, Kalimantan Utara, ke Korea Selatan melalui perusahaan swasta PT Kebula Raya Bestari, pada Minggu (26/5/2025).
Ekspor ini diharapkan menjadi titik balik kebangkitan ekonomi petani rumput laut Nunukan, yang sejak 2023 terdampak oleh stagnasi harga komoditas.
Petani setempat bahkan menyebut banyak dari mereka yang “gantung tali” dan kembali ke kampung halaman akibat harga jual yang tak sebanding dengan modal.
“Kita kirimkan tiga kontainer rumput laut Nunukan atau 60.000 kg ke Korsel, dengan nilai invoice sekitar 62.400 US Dolar (sekitar Rp 1,011 miliar). Ke depan kita targetkan sebulan bisa 10 kontainer, bahkan 50 kontainer,” ujar Direktur PT Kebula, Sinta, saat dikonfirmasi.
Baca juga: Minta Maaf ke Jokowi, Kader PSI Dian Sandi: Niat Saya Bukan Mempermalukan
Saat ini, PT Kebula menyerap 40 tenaga kerja di gudang rumput laut yang berada di Nunukan Selatan. Perusahaan ini juga mendapat dukungan dari Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) dan PT Global Indonesia, untuk memperluas jangkauan ekspor ke negara lain seperti China dan Filipina.
“Sasaran kami juga bisa menyerap tenaga kerja lokal lebih banyak, sehingga masyarakat sekitar menuai manfaat atas ekspor yang kita lakukan,” imbuhnya.
Untuk menjamin kualitas dan kuantitas ekspor, PT Kebula membuka lahan bibit rumput laut bagi para pembudi daya. Diharapkan, petani bisa memanen hingga 30–60 ton per hektare.
PT Kebula juga memproduksi Suplemen Organik Cair (SOC) rumput laut guna meningkatkan pertumbuhan dan kualitas panen. Inisiatif hilirisasi pun dilakukan, salah satunya dengan memproduksi penganan khas Nunukan seperti peyek rumput laut, kacang disko, dan minuman berbahan dasar rumput laut.
“Kita lakukan hilirisasi rumput laut, dengan membuat penganan, seperti peyek rumput laut, kacang disko, dan berbagai minuman berbahan baku rumput laut. Semoga itu semua akan menjadi oleh-oleh khas Nunukan,” kata Sinta.
Meskipun ekspor dilakukan, harga rumput laut di tingkat petani masih rendah, sekitar Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kilogram. Sementara itu, PT Kebula menetapkan harga lokal di angka Rp 15.000 dan harga ekspor sebesar Rp 17.000 per kilogram.
“Sayangnya, kita masih memiliki kendala tarif pengiriman yang mahal. Jadi, biaya besar habis di transportasi,” ujar Sinta.
Wakil Bupati Nunukan, Hermanus, menyambut positif langkah ekspor ini dan melihatnya sebagai peluang membangkitkan harapan dan kesejahteraan petani.
“Meski ini bukan pertama kali ekspor dan skalanya belum besar, kami optimis, ekspor ini bisa membuka jalan bagi pengusaha lain untuk ikut mencoba pengiriman ke luar negeri,” ujarnya.
Menurut Hermanus, ekspor rumput laut tak hanya memberi nilai tambah harga, tapi juga menyumbang pendapatan daerah melalui pajak.
“Saya mendorong OPD (Organisasi Perangkat Daerah) juga pihak terkait untuk sinergi dan kolaborasi, sebagai jembatan agar produktivitas rula berjalan baik dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah,” katanya lagi.
Meski ekspor terus didorong, Nunukan masih menghadapi sejumlah kendala, seperti masalah zonasi penanaman rumput laut yang menjadi kewenangan Pemprov Kaltara, serta persoalan sampah laut dari limbah rumput laut yang belum tertangani.
Potensi Unggulan: Tumbuh Subur Tanpa Musim
Nunukan memiliki keunikan ekologi yang membuat rumput laut tetap bisa tumbuh meski di perairan keruh dan tanpa mengenal musim. Hal ini menjadikan wilayah perbatasan ini sebagai salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia.
“Nunukan menjadi salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Ini wajib kita syukuri dengan kerja, kerja, kerja; sinergi, sinergi, sinergi; kolaborasi, kolaborasi, kolaborasi, dari Pusat, Provinsi, Kabupaten, sampai Desa, sehingga apa yang jadi cita-cita presiden, visi misi Gubernur, dan Bupati bisa tercapai dengan baik,” pungkasnya.