Home / Internasional / 33 Tahun Hubungan Ukraina-Indonesia: Kemitraan di Tengah Invasi Rusia

33 Tahun Hubungan Ukraina-Indonesia: Kemitraan di Tengah Invasi Rusia

Jakarta – Tahun ini, Ukraina dan Indonesia menandai 33 tahun hubungan diplomatik. Plt. Duta Besar Ukraina Yevhenia Shynkarenko menyerukan hubungan yang lebih erat dan dukungan vokal di tengah agresi Rusia yang sedang berlangsung.Yevhenia Shynkarenko menyoroti tidak hanya landasan historis hubungan bilateral tetapi juga urgensi kerja sama di masa perang.”Ini bukan hanya tentang diplomasi — ini masalah pribadi,” kata Shynkarenko dalam press briefing bersama awak media di Jakarta, Selasa (10/6/2025.”Kerja sama kami dimulai jauh sebelum tahun 1991. Bahkan selama perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-an, seorang diplomat Ukraina, Dmytro Manoilsky, mengangkat isu tersebut di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dukungan kami terhadap kedaulatan Indonesia dimulai jauh sebelum kami sendiri sepenuhnya merdeka.”Shynkarenko menggarisbawahi akar sejarah yang mendalam dari hubungan Ukraina-Indonesia, dengan menyatakan bahwa meskipun hubungan diplomatik formal telah terjalin sejak Juni 1992, solidaritas antara kedua negara telah terjalin sebelum Ukraina merdeka dari Uni Soviet.Selama tahun-tahun awal PBB, Ukraina memiliki delegasinya sendiri — terpisah dari Uni Soviet — yang memberinya platform unik untuk mendukung upaya dekolonisasi, termasuk upaya Indonesia.Sekarang, dalam pembalikan peran, Ukraina meminta Indonesia untuk memberikan dukungan vokal dan tekanan internasional kepada Rusia agar mengakhiri invasi skala penuhnya, yang dimulai pada tahun 2022.”Kami yakin Indonesia adalah pemain internasional yang andal dan kuat,” katanya.”Suara Anda penting. Kami meminta Indonesia untuk membantu kami mendorong gencatan senjata — untuk membantu menghentikan perang ini.”Shynkarenko memberikan kesaksian tentang korban jiwa akibat perang, dengan menceritakan bahwa serangan pesawat nirawak Rusia baru-baru ini menghantam hanya beberapa ratus meter dari rumah orang tuanya di Ukraina.”Setiap pagi, kami memeriksa apakah orang-orang yang kami cintai masih hidup,” kata Shynkarenko.Ia juga menyesalkan terus berlanjutnya penargetan infrastruktur sipil, termasuk sekolah, rumah sakit, dan bangunan tempat tinggal, meskipun ada pembicaraan baru-baru ini antara delegasi Ukraina dan Rusia.”Tingkat keterlibatan delegasi Rusia pada negosiasi 2 Juni menunjukkan bahwa mereka tidak serius tentang perdamaian. Apa yang mereka sebut sebagai usulan hanyalah tuntutan agar kami menyerah.”Tuntutan utama Ukraina dalam diskusi tersebut tetaplah pengembalian tawanan perang dan anak-anak yang dideportasi, yang banyak di antaranya dibawa secara paksa ke wilayah Rusia. “Ini bukan hanya masalah politik — ini masalah kemanusiaan,” tambahnya. Shynkarenko mencatat bahwa perdagangan bilateral antara Indonesia dan Ukraina hampir dua kali lipat pada tahun lalu, namun tantangan tetap ada karena blokade Laut Hitam yang sedang berlangsung oleh Rusia — yang sebelumnya merupakan rute utama ekspor gandum Ukraina ke Asia dan Afrika.”Pelabuhan Odessa terkena serangan. Beberapa pengiriman — termasuk yang berisi bantuan kemanusiaan untuk Yaman dan Palestina — hancur,” katanya.Ukraina, yang pernah menjadi pengekspor gandum teratas, kini juga menjadi negara dengan tambang terbanyak di dunia, melampaui Kamboja. Sebagian besar lahan tambang mencakup lahan pertanian yang penting untuk produksi pangan.”Meskipun roti bukan makanan pokok di Asia, mi adalah makanan pokok — dan mi terbuat dari gandum,” kata Shynkarenko. “Keamanan pangan merupakan masalah global.” Meskipun sedang berperang, Ukraina terus maju dalam pengembangan TI, digitalisasi, dan ketahanan energi. Dengan seringnya pemadaman listrik yang disebabkan oleh serangan terhadap pembangkit listrik, Ukraina harus mengembangkan inovasi cepat dalam pengelolaan energi dan infrastruktur.”Kami tidak hanya berperang — kami juga membangun. Dan kami percaya Indonesia dapat menjadi mitra dalam kemajuan ini,” katanya.Saat perang berlanjut memasuki tahun ketiga, Ukraina berharap Indonesia akan tetap menjadi mitra yang setia — tidak hanya secara diplomatis, tetapi juga dalam advokasi perdamaian, upaya kemanusiaan, dan pembangunan kembali.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *