Johannesburg – Setidaknya 12 orang tewas dalam rangkaian bentrokan hebat antara pengunjuk rasa kulit hitam dan aparat kepolisian di berbagai kota di Afrika Selatan. Aksi protes yang dipicu oleh kebijakan penggunaan bahasa Afrikaans sebagai bahasa utama pengantar di sekolah-sekolah kulit hitam ini berubah menjadi kerusuhan berdarah.Kemurkaan warga, terutama anak-anak muda, terlihat dari aksi mereka melempar batu dan botol bir ke arah polisi. Kekerasan yang semula terkonsentrasi di Soweto dengan cepat menjalar hingga ke Alexandra, kawasan di utara Johannesburg yang berbatasan langsung dengan wilayah permukiman kulit putih yang makmur.Harian The Times menyebut insiden ini sebagai wabah kekerasan rasial paling parah di Afrika Selatan sejak pembantaian Sharpeville pada 1960 lalu, dikutip dari BBC, Senin (16/6/2025).Laporan sementara menyebutkan dua anak kulit hitam dan dua pria kulit putih termasuk di antara korban jiwa. Namun, angka korban kemungkinan jauh lebih tinggi. Ambulans kesulitan menjangkau korban luka akibat kerumunan dan blokade jalan.Pasukan polisi disiagakan di jalan-jalan, berupaya mencegah penjarahan toko serta pembakaran gedung-gedung umum. Seiring memburuknya situasi, lebih banyak personel keamanan dikerahkan.Dua orang dilaporkan tewas tertembak ketika sebuah mobil mengebut dan mencoba menabrak aparat di sebuah persimpangan jalan.Dalam pernyataannya, Perdana Menteri B.J. Vorster menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan. “Kami tidak menghadapi luapan emosi spontan, tapi sebuah upaya terorganisir untuk menciptakan jurang antara orang kulit hitam dan kulit putih,” tegasnya. Ia memastikan bahwa langkah tegas akan diambil untuk mengembalikan ketertiban.Aksi unjuk rasa dimulai pada pagi hari dengan 10.000 siswa berbaris sambil membawa spanduk bertuliskan “Turunkan Bahasa Afrikaans” dan “Hidup Azania” — nama yang digunakan kaum nasionalis kulit hitam untuk menyebut Afrika Selatan.Ketegangan memuncak ketika barisan siswa tiba di Sekolah Phefeni, yang terletak di bukit kecil di tengah permukiman padat berisi lebih dari satu juta warga kulit hitam. Polisi yang telah bersenjata lengkap mencoba mengepung para siswa.Menurut pihak kepolisian, bentrokan terjadi setelah siswa melempar batu dan benda lainnya. Aparat kemudian membalas dengan tembakan peluru tajam ke arah kerumunan. Saksi mata mengatakan gas air mata ditembakkan tanpa peringatan, dan saat para siswa membalas dengan batu, polisi kembali melepaskan tembakan.Brigadir R. Le Roux, perwira senior yang memimpin operasi, menyebut situasi sebagai “sangat buruk” dan menolak memberikan keterangan lebih lanjut, bahkan meminta wartawan untuk segera meninggalkan lokasi.Di Natalspruit, kota kecil di timur Johannesburg, bus digunakan sebagai alat penghancur untuk merobohkan gedung-gedung pemerintah. Beberapa lainnya dibakar massa.Setidaknya enam kota lain di sekitar Johannesburg juga terdampak kerusuhan. Namun, blokade ketat oleh polisi membuat wartawan tidak bisa masuk ke wilayah tersebut untuk melaporkan langsung situasi.Akar dari kekacauan ini bermula dari boikot sekolah yang digelar sejak pertengahan Mei. Para siswa menolak masuk kelas sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pendidikan diskriminatif, yang memaksa mereka belajar dalam bahasa Inggris dan Afrikaans — sementara siswa kulit putih diberi kebebasan memilih bahasa pengantar.Kini, Afrika Selatan kembali berduka, dan dunia menyaksikan bagaimana bahasa bisa menjadi pemantik luka lama ketidaksetaraan yang belum sepenuhnya sembuh.
16 Juni 1976: Demonstrasi Berujung Tragedi, Aksi Protes di Soweto Afrika Selatan Tewaskan 12 Orang

Tag:Breaking News